Taum, Si Tanaman Penghasil Warna Biru untuk Kain Tenun

teks dan foto oleh : Riyandoko




Kain tenun merupakan hasil budaya dan tradisi khas masyarakat Nusa Tenggara Timur. Hampir di semua wilayah dan pulau di provinsi ini mulai dari Sumba, Flores, Sabu, Rote, Lembata, Alor dan Timor menghasilkan kain tenun yang cantik dengan ragam motif yang berbeda. Ragam warna dari hitam, biru, coklat, merah hingga kuning menjadi ciri khas kain tenun Kepulauan Nusa Tenggara Timur. Pewarna alami menjadi ciri khas kain-kain tenun tersebut sekaligus menjadi penentu dari kualitas kain tenun itu sendiri. Para penenun kebanyakan menghasilkan sendiri pewarna alami tersebut dari berbagai tanaman yang secara alami tumbuh di wilayah mereka.
Tanaman taum atau yang dikenal dengan Indigofera sp. merupakan tanaman yang menghasilkan warna biru yang kuat. Sudah menjadi tradisi bahwa tanaman ini digunakan sebagai pewarna alami oleh masyarakat di Nusa Tenggara Timur untuk mewarnai benang tenun. Taum merupakan tanaman legum yang berbentuk perdu. Masyarakat di Nusa Tenggara Timur mengenal ada dua sampai tiga jenis tanaman taum yang dibedakan dari bentuk polong (buah) dan tinggi tanaman. Tanaman taum dengan batang tinggi (sekira 2,5 meter) dengan bentuk polong bengkok yang dikenal sebagai Indigofera suffruticosa dan tanaman taum dengan batang lebih rendah (sampai dengan 1 meter) dengan bentuk polong lurus, yang disebut Indigofera tinctoria


 Pewarnaan benang tenun dengan tanaman taum telah dilakukan secara turun temurun dengan beragam cara dan menggunakan ritual tertentu. Misalnya di Desa Insana, Pulau Timor, masyarakatnya  biasa melakukan ritual makan jagung muda dan memotong ayam atau babi hitam. Di beberapa desa lain di Pulau Timor, laki-laki bahkan tidak diperkenankan (pamali) mencelup benang atau kain dengan menggunakan daun taum. Keberagaman cara dan ritual ini menunjukkan betapa pentingnya proses pewarnaan yang mereka lakukan demi menghasilkan warna kain yang indah. Selain itu, kegiatan tersebut menunjukkan betapa kuatnya budaya dan tradisi kita dalam menciptakan mahakarya yang bisa mempesona masyarakat dari segala bangsa.
Pewarnaan biru yang menggunakan tanaman taum biasanya hanya dapat dilakukan pada akhir musim penghujan. Pada masa ini, tanaman taum sudah cukup masak (tua) dan mudah ditemukan. Pada akhir musim kemarau tanaman taum sulit diperoleh karena sebagian besar tanaman sudah mati dan kering. Pada saat itu, penenun mengalami kesulitan mendapatkan tanaman taum. Kurangnya pasokan benang biru berpengaruh pada produksi kain tenun yang dihasilkan saat musim kemarau. Sementara itu, pada musim kemarau penenun justru memiliki banyak waktu karena tidak bekerja di sektor pertanian.
Perlu ada upaya memenuhi kebutuhan penenun terhadap pewarna biru pada musim kemarau. Salah satu cara adalah dengan mengawetkan zat pewarna biru (indigo) yang terdapat pada tanaman taum, ketika tanaman taum masih banyak ditemui pada akhir musim penghujan. Mengolah tanaman taum menjadi berbentuk pasta merupakan salah satu cara pengawetan sebagai persediaan warna biru pada musim kemarau. Sehingga penenun dapat menghasilkan kain tenun yang cantik dengan warna biru alami.

Komentar