Petani Unggulan dan Penyuluh Swadaya: Harapan bagi Masyarakat Timor Tengah Selatan sebagai Penyambung Informasi Pengelolaan Kayu dan Hasil Hutan Bukan Kayu
Teks dan foto oleh Riyandoko
ditulis untuk Buletin Kiprah Agroforestri Vol 9 No 1. April 2016 the World Agroforestry Centre - Indonesia
Proses belajar pada pelatihan dibagi dalam tiga tahap yaitu: (1) pengantar materi yang dilakukan di dalam ruang kelas dengan metode ceramah, diskusi kelompok, presentasi hasil, simulasi dan bermain peran. Bermain peran merupakan salah satu metode yang antusias diikuti oleh peserta di dalam ruangan. Suasana ceria dan dialog dengan bahasa setempat memudahkan peserta dalam memahami materi, (2) kunjungan lapangan, dilaksanakan di Hutan Kemasyarakatan (HKm) yang dikelola oleh Kelompok Tunas Baru Desa Netpala Mollo Utara. Metode belajar yang digunakan dalam kunjungan lapangan yaitu :pengamatan, wawancara, diskusi kelompok, dan presentasi hasil. Kunjungan lapangan ini memudahkan peserta dalam membedakan hasil hutan kayu dan HHBK serta memberikan gambaran kepada petani mengenai pengelolaannya secara tumpang sari (terintegrasi), dan (3) refleksi (pembahasan dan perumusan).
Hasil evaluasi
penyelenggaraan pelatihan menunjukkan bahwa pemangkasan cabang dan penjarangan
pohon kayu pada budidaya tanaman kayu merupakan materi yang paling banyak disukai
oleh peserta. Hal ini menunjukan bahwa materi dan informasi tentang budidaya sangat
diperlukan oleh petani, karena berhubungan dengan praktik pekerjaan mereka
sehari-hari yang selama ini masih kurang dipahami petani oleh petani akibat
kurangnya informasi dalam bentuk penyuluhan. Dalam pelatihan ini peserta
laki-laki masih mendominasi terutama pada sesi diskusi kelas. Kerjasama peserta
dalam kelompok terlihat lebih baik dan peserta perempuan lebih aktif dalam
menyampaikan pendapat dan menuliskan hasil diskusi dalam kertas plano.
ditulis untuk Buletin Kiprah Agroforestri Vol 9 No 1. April 2016 the World Agroforestry Centre - Indonesia
Permasalahan Pengelolaan Kayu dan Hasil Hutan Bukan Kayu
Kabupaten Timor Tengah Selatan yang termasuk dalam wilayah administrasi
Provinsi Nusa Tenggara Timur memiliki luas sekitar 395.536 ha, pada ketinggian antara 40 – 1.600 meter di
atas perlukaan laut (dpl). Kabupaten ini terbagi dalam 32 kecamatan, 266 desa
dan 12 kelurahan. Sebagian besar penduduknya menggantungkan penghidupan pada
sektor pertanian dan kehutanan, baik dalam bentuk kayu maupun hasil hutan bukan kayu (HHBK). Menurut data Biro Pusat Statistik (BPS) Timor
Tengah Selatan tahun 2014, kayu masih didominasi oleh kayu rimba campuran dan
kayu jati, sedangkan HHBK didominasi
asam, kemiri dan madu. Meskipun kayu dan HHBK tersebut menjadi sumber
penghidupan masyarakat di Kabupaten Timor Tengah Selatan, tetapi hingga saat
ini belum memberikan manfaat secara optimal karena belum dikelola secara
terintegrasi dan berkelanjutan. Salah satu contoh pengelolaan yang dilakukan
oleh masyarakat antara lain penanaman tanaman jati putih (Gmelina arborea) yang belum memperhatikan jarak tanam dan praktik pemeliharaan
tanaman seperti pemangkasan cabang dan penjarangan pohon.
Salah satu permasalahan yang menyebabkan ketidak-optimalan dalam
pengelolaan kayu dan HHBK oleh petani skala kecil saat ini adalah kurangnya akses
informasi dan inovasi pengelolaan yang
terintegrasi antara kayu dan HHBK akibat rendahnya kuantitas, intensitas dan
kualitas penyuluhan kehutanan. Dari studi mengenai kebutuhan dan
tantangan penyuluhan yang dilakukan oleh Program KANOPPI – ACIAR FST 2012-039 pada tahun
2014 dengan wawancara terhadap 129
responden menunjukkan bahwa petani yang mendapatkan layanan penyuluhan di Kabupaten Timor Tengah
Selatan sebesar 14,73%. Materi penyuluhan yang
diterima adalah tentang pertanian dan tanaman pangan yang dinilai kurang
relevan dengan pengembangan produk hasil kehutanan kayu dan HHBK.
Selain
materi penyuluhan yang kurang relevan, keterbatasan jumlah penyuluh kehutanan
juga menjadi penyebab rendahnya akses petani terhadap
layanan penyuluhan kehutanan. Menurut
Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan (BKPP) Kabupaten Timor Tengah Selatan, jumlah
penyuluh kehutanan pemerintah pada tahun 2015 sebanyak 16 orang yang terdiri
dari 12 laki-laki dan 4 perempuan. Dengan melihat jumlah kecamatan di kabupaten
ini, maka rata-rata satu penyuluh bekerja di dua kecamatan. Luasnya area kerja
mereka berakibat pada rendahnya jangkauan layanan penyuluhan, terutama ke
wilayah terpencil seperti di Kecamatan Fatumnasi dan Mollo Utara yang terletak
di sekitar Pegunungan Mutis. Sefuat Tauesib, petani dari
Desa Bosen, Kecamatan Mollo Utara mengatakan bahwa
penyuluhan terakhir di dusunnya dilakukan pada tahun 2012. Setelah pergantian
petugas penyuluh, tidak ada kegiatan penyuluhan sampai dengan sekarang.
Potensi petani unggulan dan penyuluh swadaya sebagai penyambung informasi
Undang-Undang No 16 tahun
2016 tentang sistem penyuluhan, pertanian, perikanan dan kehutanan di Indonesia
mengatur bahwa selain dilakukan oleh penyuluh pemerintah, penyuluhan juga dapat dilakukan oleh
penyuluh swadaya dan penyuluh swasta. Penyuluh swadaya adalah pelaku pertanian, perikanan
atau kehutanan yang berhasil dalam usahanya dan warga masyarakat lainnya yang
dengan kesadarannya sendiri mau dan mampu menjadi penyuluh. Meskipun telah disebutkan dalam peraturan
perundangan, namun menurut Ibu Mariah Elisabeth Magang, Koordinator Penyuluh
Kehutanan pada BKPP Kabupaten Timor Tengah Selatan, hingga saat ini belum ada penyuluh
kehutanan swadaya yang ditetapkan secara resmi oleh pemerintah daerah atau
bupati. Namun, di setiap desa/ kelurahan ada satu orang petani unggulan yang selama
ini menjadi ‘orang kunci’ yang selalu dihubungi ketika BKPP dan Dinas Kehutanan
melakukan penyuluhan atau menyelenggarakan program-program kehutanan.
Jika petani unggulan tersebut
dibina untuk menjadi penyuluh kehutanan swadaya, maka di Kabupaten Timor Tengah
Selatan minimal ada 278 petani unggulan yang berpotensi menjadi penyuluh
kehutanan swadaya. Jumlah yang cukup ideal guna mendukung penyuluh kehutanan
pemerintah dalam menyebarkan informasi dan inovasi.
Peningkatan kapasitas petani unggulan dan penyuluh swadaya
Melihat jumlah petani unggulan yang berpotensi mendukung layanan penyuluhan
kehutanan di Kabupaten Timor Tengah Selatan, maka program
KANOPPI –ACIAR FST 2012-039 mengambil
kesempatan untuk memanfaatkan peluang tersebut. Bekerjasama dengan Dinas
Kehutanan dan BKPP Kabupaten Timor Tengah Selatan, program
KANOPPI –ACIAR FST 2012-039
menyelenggarakan Pelatihan bagi Petani Unggulan dan Penyuluh
Swadaya. Pelatihan tersebut bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan
petani unggulan dan penyuluh
swadaya mengenai hasil kehutanan kayu dan HHBK agar dapat mendukung penyebaran informasi dan
inovasi.
Pelatihan
dilaksanakan antara tanggal 20 - 23 Oktober 2015 di Balai Penyuluhan Kecamatan
Mollo Utara, diikuti oleh 24 peserta yang terdiri dari 18 petani unggulan dari Desa
Bosen, Desa Netpala dan Desa Ajobaki yang diproyeksikan menjadi penyuluh
swadaya dan 6 penyuluh pemerintah yang bertugas di Kecamatan Mollo Utara dan
Kecamatan Fatumnasi. Materi yang sampaikan dalam pelatihan yaitu: (a) Pengantar
kayu dan hasil hutan bukan kayu; (b) kebijakan tentang penata-usahaan hasil
hutan hak yang mencakup tatacara
mengajukan Nota Angkut Sendiri dan Surat Keterangan Asal Usul untuk hasil hutan
hak;
(c) budidaya tanaman kayu; (d) pengelolaan kebun integrasi kayu dan hasil hutan
bukan kayu; (e) pengantar pemasaran untuk kayu dan hasil hutan bukan kayu; (f)
komunikasi dan menyebar-luaskan informasi melalui penyuluhan.
Proses pelatihan petani unggul dan penyuluh swadaya di Desa Netpala, Timor Tengah Selatan |
Proses belajar pada pelatihan dibagi dalam tiga tahap yaitu: (1) pengantar materi yang dilakukan di dalam ruang kelas dengan metode ceramah, diskusi kelompok, presentasi hasil, simulasi dan bermain peran. Bermain peran merupakan salah satu metode yang antusias diikuti oleh peserta di dalam ruangan. Suasana ceria dan dialog dengan bahasa setempat memudahkan peserta dalam memahami materi, (2) kunjungan lapangan, dilaksanakan di Hutan Kemasyarakatan (HKm) yang dikelola oleh Kelompok Tunas Baru Desa Netpala Mollo Utara. Metode belajar yang digunakan dalam kunjungan lapangan yaitu :pengamatan, wawancara, diskusi kelompok, dan presentasi hasil. Kunjungan lapangan ini memudahkan peserta dalam membedakan hasil hutan kayu dan HHBK serta memberikan gambaran kepada petani mengenai pengelolaannya secara tumpang sari (terintegrasi), dan (3) refleksi (pembahasan dan perumusan).
Petani mengidentifikasi tanaman kayu dan non kayu di kebunnya |
Dalam evaluasi, peserta menilai bahwa
pelatihan ini penting untuk diri mereka, teman dan bagi petani pada umumnya. Mereka
berpendapat bahwa pelatihan ini memberikan manfaat dalam hal: (a) menambah ilmu
pengetahuan mengenai kayu dan hasil hutan bukan kayu, (b) mengetahui tentang
tatacara menjual kayu yang diperoleh dari hasil hutan hak, (c) mengetahui tentang
tanaman tarum dan manfaatnya, (d) mengetahui tatacara budidaya tanaman kayu,
dengan
pemangkasan cabang dan penjarangan dan (e) belajar menyampaikan materi dan proses belajarnya.
pemangkasan cabang dan penjarangan dan (e) belajar menyampaikan materi dan proses belajarnya.
Dari manfaat yang diterima oleh peserta menunjukkan
bahwa secara umum dalam pelatihan ini peserta mendapat peningkatan pengetahuan,
dan motivasi untuk mempraktikkan di kehidupan sehari-hari, namun peningkatan
keterampilan dan perubahan sikap belum dapat diketahui pada pelatihan ini.
Rencana tindak lanjut
Berdasarkan pada pelatihan yang telah mereka
ikuti, peserta membuat rencana tindak lanjut yang diidentifikasi dari kebutuhan
peserta akan pelatihan untuk meningkatkan keterampilan. Rencana tindak lanjut
yang diharapkan peserta pelatihan antara lain: praktik pemangkasan cabang pada
pohon kayu; kegiatan praktik budidaya tanaman tarum (indigofera); pelatihan pembuatan warna dari tanaman tarum; dan
praktik penanaman kayu di kebun.
Komentar
Posting Komentar