Perjalanan Menuju Borobudur Melalui Perbukitan Menoreh

oleh : Riyandoko


Sebuah Awal Perjalanan

Keinginan saya untuk menikmati alam sambil berjalan kaki ini muncul setelah dua bulan pasca gempa di Yogyakarta (27 Mei 2006). Rutinitas sebagai sukarelawan di lokasi bencana membuat kondisi badan dan pikiran membutuhkan penyegaran.Perjalanan ini dimulai ketika saya bertemu dengan seorang teman (Ika) dan membicarakan tracking yang pernah kami lakukan beberapa bulan lalu ke Gunung Merapi. Dari pembicaraan tersebut terlintas ide untuk mencoba jalur jalan kaki menuju Borobudur melalui perbukitan Menoreh di Kulon Progo. Dengan semangatnya Ika menanggapi dan sepakatlah kami untuk rencana tracking tersebut. Kami berencana akan mengambil jalur berjalan dari Samigaluh melewati Suroloyo dan berakhir di Candi Borobudur. Perjalanan akan kami lakukan pada hari minggu, 23 Juli 2006.
Di hari yang ditentukan, dinginnya udara pagi membangunkan saya dari tidur, meskipun rasa malas mengajak untuk kembali tidur. Badanpun masih terasa lelah setelah semalam harus menyelesaikan kegiatan di Pos Omah Bocah Gunung Puyuh Pundong Bantul. Saya melihat jam di ponsel dan menunjukkan pukul 05.00. Segera saya paksakan untuk bangun karena pagi ini pukul 06.30 saya harus sampai di tempat Ika untuk bersama-sama berangkat menuju Samigaluh dengan bus. Mandi ala kadarnya, mengangkat tas yang telah saya kemas semalam, serta topi kesukaan tidak lupa saya bawa. Motor CB merah saya keluarkan dari kandangnya dan berangkatlah menembus dinginnya pagi tanpa jaket menuju rumah Ika.
Pintu depan rumah Ika sudah terbuka dan terlihat ibunya sedang menyapu lantai. Dengan sapa yang ramah beliau mempersilahkan saya untuk duduk di teras. Tidak lama kemudian Ika keluar dengan segelas teh manis hangat. Setelah meminumnya menjadikan perut sedikit hangat dan nyaman, maklumlah perut ini belum terisi. Setelah Ika selesai berbenah, kami berpamitan dan berangkat menuju pemberhentian bus di jalan HOS Cokroaminoto. Kami harus naik bus dua kali untuk  menuju Samigaluh, pertama menuju Kenteng dengan Bus Prayogo, kemudian berganti bus engkel jurusan Samigaluh.
Bus Prayogo cukup lama datangnya, kami menunggu  hingga satu jam. Dengan membayar Rp 5000, 00 per orang, bus ini akan membawa kami menuju Kenteng di daerah Nanggulan. Perjalanan ini tambah menyenangkan karena kita dapat bertemu dengan ibu-ibu dengan gendongan bakul yang baru pulang dari pasar. Banyak cerita yang dapat kita curi dengar dari mereka. Cerita tentang dagangannya, masalah keluarga mereka, bahkan ada dua orang ibu-ibu yang usianya kira-kita 60 tahun bertemu lagi dengan teman sekolahnya dulu. Nostalgiapun terjadi diantara mereka. Suasana ramah seperti ini yang saya cari dalam perjalanan ini. Setelah 30 menit perjalanan dengan sampailah kami di Kenteng. Kami turun dan mencari bus yang menuju ke Samigaluh.  Suasana di dalam bus jurusan Samigaluh ini tidak kalah ramahnya dengan bus sebelumnya. Bedanya bus ini didominasi oleh penunpang laki-laki. Ada beberapa bapak yang baru pulang dari Sumatera. Cerita tentang Sumatera pun menjadi bahan perbincangan yang cukup menyenangkan sebagai teman perjalanan.
Jalan yang mendaki dan berliku-liku tidak kalah menarik untuk dinikmati. Kanan-kiri tebing curam yang dipenuhi pepohonan yang hijau mendominasi pandangan kita. Udara yang sejuk dan dingin mulai terasa dalam perjalanan ini. Kurang lebih satu jam perjalanan kami sampailah di Pasar Samigaluh. Di pasar inilah kami turun dari bus, dan sempat merasa kebingungan karena daerah yang masih asing. Ika yang saya andalkan sebagai penunjuk jalan pun lupa. Akhirnya kami bertanya kepada salah seorang ibu yang kebetulan lewat jalan tersebut. Kami ditunjukkan jalur tracking oleh ibu tersebut. Jalur tracking ini melewati Suroloyo yang merupakan puncak tertinggi dari Perbukitan Menoreh.
Sebelum memulai menyusuri jalur tersebut kami mempersiapkan diri dahulu di sebuah kamar mandi masjid desa sekitar. Perjalanan kami mulai dengan menyusuri  jalan kecamatan yang beraspal. Di sepanjang jalan kami berjumpa dengan beberapa warga yang sedang bergotong royong membersihkan sepadan jalan. Ada yang membersihkan rumput liar, mengecat pagar dan membakar sampah. Masih terlihat semangat gotong royong dari masyarakat ini.
Samigaluh merupakan salah satu kecamatan di daerah administrasi Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Letak topografi daerah ini di ketinggian 500-1000 meter di atas permukaan laut (mdpl). Mata pencaharian masyarakatnya antara lain bertani, perkebunan cengkeh, dan menambang batu.

Menuju Suroloyo

Jalan landai beraspal yang lumayan kasar kami lalui, tanjakan belum terasa tinggi namun nafas mulai terasa berat dan tersengal-sengal. Mungkin ini sebagai awalan dan pemanasan setelah lama saya tidak berjalan jauh. Sampai di persimpangan jalan kami mulai bingung lagi. Menurut ibu yang kami tanya sebelumnya, kami harus mengikut jalan ini terus. Untuk memastikan agar tidak tersesat kami bertanya kepada penduduk sekitar dan menghampiri salah satu rumah yang terlihat ada penghuninya. Dengan ramah bapak tuan rumah menyambut kami dan menunjukkan jalan menuju Suroloyo, serta mempersilahkan kami untuk mampir dan singgah sebentar. Karena perjalanan baru dimulai dan kelihatannya masih jauh kami mohon pamit tanpa mengurangi rasa hormat. Dusun di kaki bukit ini terlihat sepi pada waktu pagi menjelang siang. Penduduknya bekerja di ladang atau kebun cengkeh, hanya beberapa ibu yang terlihat berada di sekitar rumah membersihkan halaman dan menemani anaknya bermain. Perjalanan menyusuri dusun ini kami tempuh selama 30 menit. Tebing tinggi mulai terlihat di depan setelah kami tiba di ujung dusun. Setelah itu kami mulai memasuki perkebunan cengkeh. Kami menyusuri jalan tanah di mana sepanjang kanan kiri jalan didominasi kebun cengkeh. Jalan mulai menanjak, nafaspun bertambah berat dan tersengal. Jalan mulai berputar dan berliku menjadikan kami berjalan melambat. Kami beberapa kali berapasan dengan orang yang memanggul rumput dan hijauan pakan ternak dan terlihat pula kesibukan orang-orang memanen cengkeh menggunakan tangga bambu. Dari sebuah sisi bukit jarak pandang sangat luas didukung pula oleh cuaca yang cerah menjadikan mata dapat memandang dengan jelas bentangan alam perbukitan menoreh yang menghijau kebiruan. Di ujung cakrawala terlihat kebiruan Laut Selatan Pulau Jawa.
Mendekati Suroloyo kami melewati sebuah dusun kecil yang sepi dengan beberapa pemuda sedang memotong bambu. Jalan tanah yang bersih dan berlumut menjadikan kondisi lingkungan semakin terlihat asri. Hampir di setiap halaman rumah ditumbuhi rumput kecil yang menjadikan kesan sejuk dan segar. Kami istirahat sebentar di sebuah gardu ronda sembari memakan kue bekal. Dusun ini bernama Suroloyo, masih bagian administrasi Kabupaten Kulon Progo, yang letaknya berada di bawah puncak Suroloyo.
Lima belas berjalan kaki kami sudah berada di Puncak Suroloyo, yang merupakan tempat tertinggi di Pegunungan Bukit Menoreh. Disana banyak terdapat pondok-pondok peristirahatan sambil menikmati pemandangan. Dari sini dapat terlihat dengan jelas laut selatan Pulau Jawa dan Gunung Merapi. Daerah ini dapat ditempuh dengan kendaraan bermotor maupun mobil. Akses jalan menuju tempat ini sangat baik. Suroloyo ini dapat dicapai dari Borobudur maupun dari Samigaluh. Orang -orang disekitar Jogja dan Magelang sering berkunjung ke sini pada hari libur.

Perjalanan Menuju Borobudur

Kami tidak sempat menikmati lama-lama suasana di Suroloyo, karena harus meneruskan perjalanan ke Borobudur. Setelah sekedar melepaskan lelah kami meneruskan perjalanan menuruni bukit melalui jalan setapak yang berada di lereng. Di sebelah kanan jalan adalah tebing yang curam dan sebelah kiri jurang yang dalam. Limabelas menit berjalan menyusuri jalan setapak, sampailah kami di perladangan orang dusun yang ada di dasar jurang. Disini kami bertemu beberapa orang dusun yang sedang menunggu ladang, mencari kayu bakar, dan memotong bambu. Kami berjalan bersama mereka munuruni bukit. Mereka tinggal di Dusun Karang Tengah yang berada di kaki bukit ini. Dari kejauhan sudah terlihat perkampungan di bawah sana. Semakin dekat mulai terdengar kokok ayam diselingi suara ceria anak-anak yang sedang bermain. Suasana pedesaan asli, sayang kami tidak bawa alat dokumentasi. Sampailah kami di dusun tersebut. Suasana dusun tidak jauh beda dengan suasana dusun di sebelah bukit lainnya yang telah kami lalui. Sepi hanya gonggongan anjing yang menyambut kedatangan kami memasuki perkampungan.
Dusun Karang Tengah sudah masuk dalam daerah administrasi Kabupaten Magelang Provinsi Jawa Tengah. Sebagian besar masyarakatnya mengantungkan hidupnya dari pertanian dan perkebunan cengkeh. Banyak terlihat di tepi jalan yang kami lewati cengkeh yang dijemur oleh masyarakat, dengan aroma wangi yang membaui hidung kami. Selain itu kami juga melihat beberapa warga yang berprofesi sebagai tukang kayu, dengan produk kursi, meja, pintu, dan jendela yang terpajang di bagian depan bengkel kerja mereka.
Perjalanan menyusuri jalan beraspal yang menurun membuat kaki kami mulai kepanasan dan lutut mulai sakit. Jalan tersebut berujung di sebuah terminal kecil di desa ini. Terminal ini merupakan salah satu fasilitas umum di mana masyarakat sekitar dapat mengakses jalur transportasi menuju dan dari Kecamatan Muntilan ataupun Magelang. Terlihat beberapa angkutan pedesaan sedang menunggu penumpang untuk diangkut ke Borobudur atau Muntilan.
Azan Dzuhur mulai terdengar ketika kami berjalan meninggalkan terminal dan melewati sawah-sawah. Bapak-bapak petani sedang sibuk memanen padi dan beberapa sedang istirahat menikmati bekal yang dikirim oleh keluarga dari rumah. Terik matahari mulai terasa dan keringat mulai bercucuran. Kami berjalan dengan lambat –lambat asal sampai untuk menghemat tenaga. Beberapa Abang ojeg menawari kami untuk naik. Kami menolaknya dengan halus, kita sedang tracking, kok ditawari naik ojeg. Nanti namanya bukan tracking lagi tetapi ojeg-ojegan. Rasa lapar juga mulai terasa di perut kami, namun warung makan belum kami temukan sepanjang jalan yang kami lalui. Sekitar jalan duapuluh menit sampailah kami di perempatan, disini ada warung mie ayam dan bakso. Karena merasa masih kuat kita paksakan untuk tidak makan dan terus berjalan. Kita berencana akan makan siang setelah sampai di Borobudur.
Selanjutnya kami melewati sebuah dusun dimana warganya bermatapencaharian sebagai pengerajin gerabah. Gerabah yang mereka buat yaitu: cobek, kuali, kendi, dan gentong. Selain gerabah ada industri rumah tangga pembuatan tahu. Dusun ini lebih ramai dibanding tiga dusun sebelumnya. Moyoritas penduduk yang kami temui sepanjang jalan sedang sibuk bekerja. Keluar dari dusun ini kami melewati persawahan yang cukup luas dan kami berhenti sejenak di sebuah gubug untuk beristirahat. Kami memakan bekal  roti, cokelat dan air putih untuk menghilangkan sedikit rasa lapar dan haus. Setelah lelah sedikit hilang dan tenaga ada lagi kami teruskan perjalanan memasuki dusun berikutnya.
Dari jauh terdengar sayup-sayup suara gamelan jawa. Sekitar berjalan limabelas menit sampailah kami di sebuah rumah dimana sedang ada acara khitanan. Di halaman rumah ini ramai dengan pedagang dan orang yang berjubel melihat tontonan jathilan kuda lumping. Sambil lalu kami menengok ke arah tontonan tersebut. Kami melintasi rombongan penonton yang ada di pinggir jalan yang kami lewati. Beberapa orang memperhatikan kami. Mungkin karena kami orang asing dan style kami seperti wisatawan luar. Beberapa anak-anak memanggil kami “bule” dan memanggil kami dengan ”Mister”. Setelah keluar dari dusun terakhir ini jalan yang kami lalui merupakan jalan beraspal yang lumayan ramai. Udara bertambah panas dengan asap kendaraan bermotor dan mulai bising dengan kendaraan yang berlalu lalang.

Kami sampai di komplek Candi Borobudur pukul 13.30. Sejak awal kami memang tidak berniat untuk masuk ke komplek candi. Salah satu alasannya adalah harga tiket yang cukup mahal bagi kami yaitu Rp 9000,0 per orang. Setelah kami membersihkan diri di toilet dan istirahat sebentar di terminal parkir candi, kami menuju ke warung makan. Warung bakso menjadi pilihan kami untuk mengisi perut yang sudah kelaparan. Bakso seporsi dengan harga Rp 4000,00 dan es campur Rp 3000,00 terasa nikmat sekali.
Perjalanan selesai, kamipun menuju terminal bus dengan dokar. Dengan biaya Rp 5000,00 untuk dua orang, kita sudah dapat menikmati suasana perjalanan ke terminal dari atas dokar. Jarak Gerbang Borobudur dengan terminal tidak begitu jauh sekitar 1 km. Di terminal tersebut kita dapat memilih angkutan ke arah kota Jogjakarta, maupun Magelang. Kami naik bus jurusan Jogjakarta. Ongkos bus ke jurusan Jogjakarta Rp 6000,00. Perjalanan tracking kami akhiri di sini. Rasa capek dan letih menjadikan kami tertidur di dalam bus dan tidak terasa telah sampai Jogjakarta.
Selesai… Matane
Kyoen
(Jogjakarta Agustus, 2006)

Komentar