Menginisiasi Petani Penyuluh sebagai Agen Pembangunan Agroforestri di Nusa Tenggara

teks oleh Riyandoko
foto oleh Riyandoko dan Iskak Nugky Ismawan




Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur merupakan provinsi paling selatan Indonesia. Kedua provinsi tersebut merupakan kepulauan yang membentang dari barat ke timur dengan pulau–pulau utamanya adalah: Lombok, Sumbawa, Sumba, Flores dan Timor. Kondisinya yang berupa kepulaian inilah menjadi salah satu penyebab terisolirnya daerah ini dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia. Akses menuju ke daerah ini merupakan tantangan tersendiri dalam pembangunan  infrastruktur, ekonomi, kesehatan dan.
Penduduk Nusa Tenggara masih menggantungkan hidupnya dari pengelolaan lahan. Agroforestri merupakan sistem pengelolaan lahan yang banyak diterapkan penduduk Nusa Tenggara, baik secara tradisional maupun modern. Petani mulai menerapkan praktik pengelolaan kebun berdasarkan kaidah budidaya tanaman pohon meskipun belum maksimal seperti : pemupukan, pengaturan jarak tanam, dan memperhatikan asal dan kualitas benih.
Perkembangan agroforestri di Nusa Tenggara tidak lepas dari peran Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), organisasi international dan pemerintah Indonesia dalam dasawarsa terakhir. The World Agroforestri Centre (ICRAF) adalah salah satu organisasi penelitian international yang ikut membantu pengembangan agroforestri di Nusa Tenggara. Sejak tahun 2014, ICRAF bersama dengan mitra kerjanya melakukan kegiatan pengembangan agroforestri di Sumbawa, Timor Tengah Selatan dan Sumba Timur untuk mendukung penghidupan petani melalui peningkatan kualitas dan pemasaran produk agroforestri. Selain mendukung peningkatan penghidupan petani, praktik pengelolaan lahan dengan sistem agroforestri diharapkan dapat membantu regenerasi alami tanaman yang mendukung usaha konservasi air dan tanah.
 
Tantangan pengembangan agroforestri di Nusa Tenggara
Penyebaran pengetahuan dan teknologi menjadi salah satu tantangan dalam pengembangan agroforestri di Nusa Tenggara karena keterbatasan akses terhadap informasi, sehingga menjadi penyebab kurangnya kemampuan petani dalam mengelola lahan secara optimal. Hal tersebut terjadi karena kondisi fisik Nusa Tenggara yang berpulau-pulau dengan fasilitas infrastruktur dan media komunikasi yang belum menunjang dan mengakibatkan petani jarang mendapat pengetahuan dan teknologi agroforestri terbaru. Penyuluhan yang menjadi salah satu bentuk layanan dan sarana bagi petani dalam mengakses pengetahuan dan teknologi belum mampu menjangkau daerah-daerah yang terpencil. Terbatasnya jumlah tenaga penyuluh pemerintah menjadi kendala dalam penyebaran informasi. Bahkan, penarikan wewenang penyuluh kehutanan ke tingkat provinsi sebagai bentuk pelaksanaan Undang–Undang No. 23  tahun 2014 tentang pemerintahan daerah, menjadikan penyuluh semakin jauh dari petani.
Keterbatasan akses terhadap informasi yang terjadi di Nusa Tenggara ini ditunjukkan oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh ICRAF pada tahun 2015 yang menyatakan  bahwa sebesar 69,5% (N = 167) petani di Sumbawa dan 85,3% ( N = 129) petani di Timor Tengah Selatan belum pernah menerima layanan penyuluhan. Pengetahuan dan teknik agroforestri yang diterapkan oleh masyarakat diperoleh dari keluarga, tetanggga, kelompok tani dan atau petani lain di desa tersebut. Angka partisipasi perempuan dalam penyuluhan di kedua kabupaten tersebut juga rendah, dimana hanya sekitar 2,40 % di Sumbawa dan 0,74 %  petani perempuan di Timor Tengah Selatan yang pernah menerima penyuluhan. Salah satu penyebabnya karena keterbatasan akses dan kesempatan yang dimiliki petani perempuan untuk mengikuti pelatihan atau penyuluhan di luar desa. Berdasarkan hasil kajian yang menunjukkan bahwa  sumber informasi mayoritas berasal dari dalam desa, maka ICRAF menginisiasi untuk meningkatkan kapasitas petani untuk menjadi petani penyuluh. Peningkatan kapasitas ini dilakukan melalui tiga tahap yaitu: (1) seleksi calon petani penyuluh, (2) peningkatan kapasitas calon petani penyuluh yang mencakup kapasitas pengetahuan dan ketrampilan, dan (3) penguatan sistem pendukung petani penyuluh. Sistem pendukung bagi penyuluh ini berupa mentoring untuk meningkatkan kepercayaan diri dan membangun jejaring.

Seleksi calon petani penyuluh
Petani penyuluh akan berperan sebagai ujung tombak dalam penyebarluasan pengetahuan dan teknologi agroforestri kepada petani lain di desanya. Oleh karena itu, petani penyuluh tersebut harus memiliki pengetahuan dan bukti-bukti nyata dari praktik-praktik agroforestri yang telah diterapkan. Menemukenali dan menyeleksi calon petani penyuluh menjadi hal yang sangat penting sebelum para petani penyuluh ini diberi pelatihan untuk peningkatan kapasitasnya. Dalam mengidentifikasi dan menyeleksi calon pentani penyuluh ICRAF menggunakan kriteria-kriteria sebagai berikut: (i). petani penyuluh adalah bagian dari masyarakat sehingga dapat berbahasa setempat dan mengenal kharakteristik serta kebutuhan masyarakat setempat; (ii) memiliki keterampilan teknis agroforestri, (iii) aktif dan memiliki ketertarikan dalam berbagi pengetahuan dan teknologi; dan (iv) calon petani penyuluh direkomendasikan oleh pemerintah setempat. Dalam seleksi petani penyuluh perlu mempertimbangkan keterlibatan perempuan, karena keterlibatan perempuan sebagai petani penyuluh dapat memberikan kesempatan akses yang lebih besar kepada petani perempuan lainnya.

Peningkatan kapasitas calon petani penyuluh
Kunci utama dari pendekatan penyuluhan oleh petani ini adalah meningkatkan kapasitas sumber daya petani menjadi seorang penyuluh atau pelatih bagi petani lainnya. Selama dua tahun melakukan kegiatan di Nusa Tenggara, yaitu antara tahun 2015 – 2017, ICRAF sudah melatih 115 petani penyuluh yang berasal dari Sumbawa (21 petani), Timor Tengah Selatan (18 petani), dan Sumba Timur (76 petani). Tidak dipungkiri bahwa jumlah tersebut akan menurun sejalan dengan seleksi alam yang terjadi. Pada semester pertama setelah pelatihan masih ada sejumlah 38 petani (Sumbawa 10 petani , Timor Tengah Selatan 10 petani, Sumba Timur 18 petani) yang konsisten dan dinilai aktif dalam menjalankan fungsinya. Menurunnnya motivasi dan ketidaksesuaian dengan kepentingan personal menjadikan beberapa petani tidak menjalankan lagi peran meraka sebagai petani penyuluh. Sejumlah 38 petani  yang tetap aktif dalam menjalankan perannya sebagai petani penyuluh diberi pelatihan untuk meningkatkan kemampuan teknis dan praktisnya melalui kegiatan yang sesuai dengan kebutuhan dan kondisi setempat. Sebagai contoh, untuk meningkatkan kemampuan petani penyuluh di Sumbawa dalam pengelolaan budidaya lebah madu Trigona, mereka diajak berkunjung ke Desa Pembelajaran Lebah Trigona di Lombok Utara. Di Desa Pembelajaran ini mereka belajar dan membandingkan sistem budidaya lebah madu Trigona. Bahkan, mereka juga mempelajari pengelolaan pusat pembelajaran lebah Trigona . Berbeda halnya dengan petani penyuluh Sumba Timur, mereka lebih membutuhkan pengetahuan mengenai  pembibitan dan perbanyakan tanaman sehingga  menghasilkan bibit secara cepat dan berkualitas baik. Sesuai dengan kebutuhan tersebut,  mereka diajak untuk berlatih membuat pembibitan dan perbanyakan vegetatif tanaman buah di Instalasi Penelitian dan PengkajianTeknologi Pertanian dan kelompok tani Karya Duta di Cipaku, Bogor. Melalui kegiatan kunjungan belajar dan on site training tersebut diharapkan petani penyuluh meningkat keterampilan teknis dan wawasannya. 


Penguatan sistem pendukung petani penyuluh
Selain meningkatkan kapasitas pengetahuan, ketrampilan dan sikap petani penyuluh sebelum terjun ke lapangan diperlukan pula penguatan sistem pendukung. ,  Mentoring (pengarahan,  pembinaan dan pendampingan bagi petani penyuluh pemula sangat diperlukan untuk memberikan masukan dan nasehat. Pengarahan untuk memanfaatkan bahan dan alat sederhana yang tepat dengan kondisi setempat juga dapat membantu petani penyuluh dalam menjalankan tugasnya.
Sistem dukungan lain yang perlu dilakukan untuk keberlanjutan kerja dari petani penyuluh adalah membangun jejaring untuk mencaridukungan dari pelaku pembangunan seperti pemerintah, LSM, sektor swasta dan universitas. Dukungan tersebut penting bagi petani penyuluh dalam menjalankan kerjanya. Dengan adanya dukungan dari berbagai pihak tersebut petani penyuluh merasa lebih dihargai sehingga meningkatkan kepercayaan dirinya. Dengan demikian mereka dapat pula berperan menjadi agen pembangunan melalui penyebaran pengetahuan dan teknologi agroforestri ke daerah terpencil yang belum terjangkau pemerintah dan pelaku pembangunan lainnya, sehingga mendukung kemajuan pembangunan daerah.

Komentar