Menoreh Sisa- Sisa Getah Jelutung Tua di Sungai Rasau

Teks oleh : Riyandoko
Foto oleh : Indra Irwansyah


Sungai Rasau bermuara di Sungai Lamandau, dengan hulunya berada di Suaka Margasatwa Sungai Lamandau (SMSL). Untuk mencapai Sungai Rasau dari Pangkalan Bun dapat ditempuh dengan speed boat atau menggunakan klotok (slow boat). Kita akan menemui sebuah pos jaga jika akan memasuki Sungai Rasau. Pos ini dijaga oleh petugas dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam Kalimantan Tengah yang mengontrol semua kegiatan manusia di dalam Kawasan Suaka Margasatwa Sungai Lamandau.

Orangutan satu spesies kunci dilindungi, yang terdapat di Suaka Margasatwa Sungai Lamandau

Sungai Rasau di dominasi oleh vegetasi hutan rawa sekunder dan semak belukar rawa. Dalam hutan rawa sekunder tersebut salah satu tanaman yang secara alami dapat tumbuh adalah pohon jelutung, atau orang lokal menyebutnya pantung.
Pohon jelutung merupakan salah satu pohon yang memiliki nilai ekonomis bagi masyarakat sekitar SMSL dimana pohon ini dimanfaatkan getahnya dengan cara ditoreh. Secara tradisional masyarakat di sekitar SMSL telah memanfaatkan pohon jelutung sudah lama. Mereka menoreh getah jelutung sebagai mata pencaharian utama. Kegiatan menoreh getah (memantung) bagi masyarakat cukup menjanjikan untuk keberlanjutan ekonomi.

Kelotok (slowbaot) salah satu transportasi yang dapat digunakan untuk menyusuri Sungai Rasau

Dari kegiatan survei dan penyuluhan pada tanggal 22-24 Juli 2010 terdata sekitar 23 pemantung yang ada di aliran Sungai Rasau. Para pemantung sebagian besar tinggal di pondokan yang berada di luar kawasan SMSL. Hanya ada 2 pemantung yang pondokannya berada di dalam kawasan SMSL. Para pemantung ini merupakan orang-orang yang berasal dari Kumai (2 orang) dari Desa Kubu (21 orang) yang relatif berada jauh dari SMSL. Keberadaan para pemantung yang beraktivitas di Sungai Rasau sangat bervariasi lamanya ada yang telah puluhan tahun hingga yang paling baru tiga tahun yang lalu. Awalnya pemantung di Sungai Rasau ini dirintis oleh pemantung dari Kumai kemudian di susul oleh para pemantung dari desa Kubu. Kegiatan memantung ini dilakukan secara keluarga dan turun temurun. Keterampilan memantung  dipelajari dari orangtua maupun saudara yang sudah beraktivitas lebih dahulu sebagai pemantung. Pemantung yang tinggal dalam satu kelompok pondok kerja biasanya masih memiliki hubungan keluarga. Dalam satu kelompok pondok kerja rata-rata terdiri dari 4-6 pemantung.

Bapak Effendi (38 tahun) yang dulunya berprofesi sebagai penebang kayu selama 15 tahun, karena bekerja menebang kayu secara illegal (illegal logging) telah dilarang akhirnya beliau beralih profesi sebagai pemantung. Sebagian besar dari mereka memilih menjadi pemantung karena alasan ekonomi dan tidak ada kerja lain setelah illegal logging dilarang. Ada juga pemantung yang pada era tahun 70an memantung di daerah Sungai Buluh Besar Tanjung Puting ketika Kawasan tersebut berubah status menjadi taman nasional maka pemantung pindah ke daerah sungai-sungai di SM Sungai Lamandau.

Pemantung yang ada di aliran Sungai Rasau melakukan kegiatan memantung di hutan sekitar wilayah tersebut. Hutan di sepanjang Sungai Rasau  di dominasi  hutan rawa sekunder, sehingga menuju lokasi memantung mereka menggunakan sampan kecil yang kemudian diteruskan dengan berjalan di lahan rawa yang cukup basah dan dalam. Pemantung biasanya memiliki 10- 25 jalur memantung dengan jumlah pohon 50-70 pohon tiap jalurnya. Pemantung memulai kegiatan pukul 05.30 dengan menyusuri rawa menuju jalur pohon-pohon pantung dan biasanya mereka mengakhiri kegiatan pada pukul 17.00. Setiap hari pemantung hanya menoreh pada satu jalur saja dan akan kembali lagi ke jalur tersebut setelah semua jalur yang lain telah ditoreh. Jika cuaca hujan pemantung tidak menoreh pantung, dengan alasan getah yang akan diperoleh encer karena air hujan dan harganya akan murah. 

Pemantung sedang menoreh pada jalur yang dia buka dan pelihara

 Dalam sebulan pemantung memerlukan uang rata-rata Rp 500.000,- untuk digunakan membeli bahan makanan dan transportasi selama berada di Sungai Rasau. Bagi pemantung yang tidak memiliki uang untuk modal tersebut, mereka akan meminjam kepada tauke (pengepul) dan akan di potong ketika mereka menjual getah. Seperti Pak Effendi setiap bulannya beliau meminjam uang dari tauke sebesar 1 juta rupiah. Beliau membagi uang tersebut sebesar 500 ribu rupiah untuk diberikan ke keluarga dan 500 ribu sisanya untuk bekal kerja memantung. Dari memantung beliau dapat memperoleh penghasilan rata-rata 1,5 juta rupiah setiap bualannya. Sehingga penghasilan bersih yang diperolehnya Rp 500.000,- perbulannya. Para pemantung menjual hasil getah pantung ke perusahaan penampung  yang ada di Pangkalan Bun yaitu PT Sumber Alam dengan harga jual sebesar Rp 5000,- s/d  Rp 5500,-/ kg. Ada juga pemantung yang menjual hasil nya melalui pedagang pengumpul ataupun tauke, dengan harga yang lebih rendah yaitu Rp 4500,- /kg.

Effendi mengeluarkan getah pantung yang akan dia bawa ke pedagang pengepul di Pangkalan Bun.

Guna memudahkan pendataan dan pendampingan para pemantung yang melakukan kegiatan  di dalam kawasan SMSL, BKSDA SKW II Kalimantan Tengah mewajibkan setiap pemantung memiliki Surat Keterangan Berusaha (SKB). Dengan adanya SKB dan fasilitasi dari BKSDA SKW II ini menjadikan kegiatan dari pemantung lebih terpantau. Hal tesebut di benarkan oleh Bapak Effendi,  “Dengan adanya SMSL pemantung disini menjadi terpantau, tidak sembarang orang mengakui bahwa ini adalah ladangnya”. Keberadaan pemantung diakui memiliki peran dalam pelestarian kawasan SMSL dengan memanfaatkan hasil hutan bukan kayu seperti getah jelutung secara berkelanjutan dengan tidak merusak ekosistem hutan rawa.

Pada saat ini para pemantung di aliran Sungai Rasau mulai merasakan kekhawatiran dengan kondisi pohon jelutung yang sudah tua. Menurut beberapa pemantung mereka tidak akan dapat menoreh getah pantung lagi dalam dua tahun ke depan. Pohon Jelutung harus diistirahatkan selama dua-tiga tahun untuk menunggu pohon memperbaiki jaringan batangnya sehingga dapat di toreh kembali. Jika mereka menanam pohon jelutung maka akan memerlukan waktu yang lebih lama. Selama menunggu masa tersebut mereka harus mencari pekerjaan lain guna memenuhi kebutuhan harian seperti mencari ikan maupun menjadi buruh. Mereka belum menemukan solusi dari persoaalan ini, padahal jelutung merupakan sumber penghidupaan utama meraka saat ini.


 


Komentar